Sebagaimana pernah saya singgung dalam refleksi sebelumnya, bahwa al-Qur’an dalam batas tertentu agaknya bisa diibaratkan sebagai hutan lebat. Karenanya, tanpa pengetahuan yang memadai, boleh jadi kita akan tersesat di dalamnya. Tersesat yang saya maksud di sini adalah kesalahpahaman dalam memahami al-Qur’an.
Salah satu penyebab dari kesalahpahaman tersebut adalah parsialisme. Tidak jarang kita menarik kesimpulan tentang satu topik tertentu hanya dari satu ayat, tanpa berusaha untuk mengonsolidasikan dengan ayat-ayat lain yang berbicara topik serupa. Walakin, apa yang ingin saya katakan di sini adalah bahwa pemahaman parsial tersebut tidak lantas salah, namun lebih pada rentan salah. Terutama ketika ia bersinggungan dengan topik yang melibatkan ayat-ayat dengan topik serupa namun masing-masing menampilkan kesan yang tampak berbeda antara satu dengan lainnya. Karena itu, pemahaman yang integral alias utuh menjadi sebuah keniscayaan.
Dalam konteks ini, penggunaan al-Qur’an terhadap dua istilah, yaitu zakat dan sadaqah, agaknya bisa menjadi contoh. Sebagian sarjana menyatakan bahwa dua istilah tersebut merujuk pada makna yang sama. Zakat ya sadaqah dan sadaqah ya zakat. Tapi penjelasan seperti ini, pada diri saya pribadi, kurang memuaskan. Satu penalaran sederhana adalah: apa iya al-Qur’an yang demikian ringkas dan bernas menggunakan dua kata berbeda untuk satu entitas makna yang sama seratus persen?
Kita tentu saja tidak mengingkari kedua istilah tersebut berbagi ruang makna yang sama. Namun, dengan digunakannya dua istilah tersebut, keduanya saya pikir pasti punya maqsad, alias tujuan. Karena itu, di samping ruang yang sama, keduanya sudah semestinya menyisakan bilik mana yang berbeda antara satu dengan lainnya. Nah, bilik itulah yang sedang kita cari.
Pada titik ini, al-Qaradlawi memberikan satu pandangan bahwa istilah yang pertama kali digunakan secara historis adalah zakat. Hal ini tercermin bahwa kata zakat terdapat dalam sekian banyak ayat-ayat Makkiyyah. Penggunaan tersebut kemudian berubah menjadi sadaqah di mana hal ini ditunjukkan pada “sumrambah”-nya kata sadaqah dalam ayat-ayat Madaniyyah.[1]
Pertanyaan selanjutnya adalah: jika analisis di atas dapat dibenarkan, apa yang kemudian menyebabkan al-Qur’an mengubah redaksi dari sadaqah pada periode Makkah ke zakat pada periode Madinah? Apa perbedaan kondisi antara Makkah dan Madinah sehingga ia mungkin menjadi penyebab perubahan tersebut? Jawaban atas pertanyaan ini akan membantu kita menangkap secara utuh apa makna sesungguhnya dari apa yang kita pahami sebagai zakat dan lebih luas dari itu yaitu struktur jaminan sosial (takaful ijtima’i) dalam Islam.
[1] Yūsuf al-Qaraḍāwī, Fiqh Al-Zakāh: Dirāsah Muqāranah Li Aḥkāmihā Wa Falsafatihā Fī Ḍaw al-Qur’ān Wa al-Sunnah, vol. 1 (Beirut: Mu’assah al-Risālah, 1973), 40.